Monday, February 25, 2013

Disiplin Eksekusi Demi Kinerja

Disiplin Eksekusi Demi Kinerja yang Hebat

Kinerja yang "baik" mungkin dirasa sudah cukup bagi sebagian organisasi. Pertanyaannya, apakah kinerja yang "baik" itu sudah cukup untuk bertahan di masa ini? Untuk dapat terus hidup dan bertumbuh, setiap perusahaan membutuhkan kinerja yang hebat secara berkesinambungan. Alasannya, Sustainable Superior Results inilah yang memastikan setiap individu, tim, maupun organisasi secara keseluruhan dapat mencapai hasil yang mantap di aspek-aspek organisasional lainnya.

Pertanyaan selanjutnya, apa yang harus dilakukan untuk mencapai performa demikian? Bagi kami, hal utama yang harus dilakukan adalah mengeksekusi sasaran-sasaran paling penting dari organisasi. Secara disiplin dan konsisten tentunya. Bagaimana caranya? Hal-hal seperti apa yang harus menjadi fokus perusahaan? Apa maknanya jika kita berfokus pada upaya-upaya untuk memperbaiki eksekusi? Apa bedanya eksekusi yang dilakukan tim berkinerja hebat dengan tim yang "biasa-biasa" saja?

FranklinCovey selama lebih dari tujuh tahun terakhir, bekerjasama dengan Jim Collins dan Ram Charan banyak melakukan studi untuk memahami tantangan-tantangan yang berhubungan dengan upaya mencapai sustainable superior results ini pada lebih dari 500 perusahaan dan melibatkan lebih dari 300 ribu karyawan. Riset terakhir dilakukan di bisnis ritel untuk Coca Cola Amerika Utara.

Riset tersebut menghasilkan jawaban dari pertanyaan: Apa faktor-faktor esensial yang membedakan perusahaan yang memiliki kinerja great dengan yang biasa-biasa saja?

Kebanyakan manajer berargumen bahwa bisnis yang dikelola sangat unik dan spesifik, sehingga banyak faktor membatasi potensi mereka untuk mencapai hasil yang luar biasa. Belum lagi kecilnya segmen pasar, meningkatnya harga minyak dunia, kompetisi yang sangat kejam, dan faktor-faktor lainnya. Padahal, sebagian perusahaan yang memiliki kinerja yang hebat tidak bergerak di bisnis yang sepi kompetisi atau memiliki sumber daya tak terbatas, misalnya saja bisnis sewa mobil, perhotelan, penerbangan, hingga bisnis makanan. Sehingga, alasan-alasan tersebut rasanya tidak relevan untuk dihubungkan dengan kinerja yang biasa-biasa.

Riset FranklinCovey mendapati bahwa lemahnya eksekusi strategi adalah penyebab utama kegagalan perusahaan mencapai sasaran-sasaran terpenting. Sebagian besar pemimpin menganggap remeh eksekusi. Ini terbukti ketika mereka diajukan pertanyaan, "Bagaimana Anda mengeksekusi strategi perusahaan?" Ada yang menjawab dengan fokus pada komunikasi internal, menindaklanjuti prosedur, atau hal-hal yang sama sekali tidak relevan dengan aktivitas-aktivitas implementasi strategi. Ketika digali lebih dalam lagi, banyak yang bahkan tidak memahami detil pekerjaan yang mereka sebut sebagai eksekusi strategi.

Krisis ekonomi yang menimpa dunia satu dekade belakangan membuat para pemimpin bisnis menghadapi tantangan untuk mendapatkan hasil jangka pendek sekaligus mempertahankannya untuk kepentingan organisasi untuk jangka panjang. Karenanya sangat relevan bila para manajer, yang memimpin langsung operasional perusahaan, secara disiplin mengeksekusi sasaran-sasaran penting perusahaan untuk memastikan eksistensi perusahaan. Apalagi yang terkait dengan bottom line.

Berikut adalah The Gobal Top 10 Challenges List dari World Economic Outlook Database, yang dikeluarkan IMF pada 2006.

Sebuah firma bidang IT berskala internasional membuktikan betapa disiplin eksekusi menyelamatkan mereka dari kegagalan mencapai target-target penting yang terjadi berulang. Perusahaan memiliki agenda atas 20 sasaran strategis yang diusung setiap divisi. Sayangnya, karena tidak memiliki kejelasan akan prioritas, para karyawan menghabiskan waktu pada aktivitas harian yang tidak mendukung pencapaian sasaran utama perusahaan.

Melalui Disiplin Eksekusi, FranklinCovey akhirnya membantu organisasi menanamkan proses yang jelas serta perubahan perilaku yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan eksekusi strategi perusahaan. Para pemimpin senior menciptakan visi yang jelas, serta menetapkan hanya 3 sasaran strategis yang harus dicapai. Mereka memastikan bahwa visi tersebut, serta kejelasan akan apa saja yang harus dilakukan untuk mencapainya, dipahami oleh setiap jenjang dalam organisasi. Setiap karyawan mengerti benar bagaimana sasaran-sasaran dari unit masing-masing mendukung pencapaian sasaran organisasi.
Dalam satu tahun, perusahaan bertransformasi menjadi organisasi yang sangat fokus dan mampu mengelola sumber daya, anggaran, serta proyek dengan sangat efektif. Lebih penting lagi, mereka mampu menentukan produk-produk, teknologi, market, serta pelanggan yang bisa "membawa untung."

Eksekusi bukan sesuatu yang baru, hanya saja kemampuan untuk melaksanakan eksekusi secara konsisten dan brilian masih menjadi tantangan terbesar dekade ini.

Eksekusi adalah disiplin yang mendukung perusahaan mencapai sasaran-sasaran strategisnya. Ini membutuhkan kemampuan pemimpin dalam mengidentifikasi dan menajamkan fokus pada sasaran-sasaran dan aktivitas-aktivitas tim yang berdampak kuat terhadap target organisasi. Selanjutnya, pemimpin harus mampu melakukan perbaikan secara terus menerus dan dengan merujuk pada kemajuan yang telah dicapai setiap minggu. Satu hal terpenting dari disiplin eksekusi yaitu memastikan setiap anggota tim memiliki akuntabilitas atas aktivitas-aktivitas yang dilakukan setiap minggunya.

Eksekusi yang efektif memiliki 6 prinsip utama. Kami menyebutnya CCTESA. Clarity, Commitment, Translation of Strategic Goals to Daily Tasks, Enabling, Synergistic Teamwork, dan Accountability.

Eksekusi strategi yang efektif sepintas terlihat serupa dengan taktik-taktik bisnis lain yang dapat dengan mudah diimplementasikan. Namun, tidak demikian faktanya. Tidak semudah itu menerapkan disiplin eksekusi. Tugas-tugas harian yang mendesak kerap menjadi penghalang utama untuk suksesnya sebuah sistem eksekusi. Ini popular disebut "whirlwind."

Whirlwind menyebabkan karyawan kehilangan fokus pada sasaran strategis yang kritikal akibat serbuan pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya administratif, krisis-krisis sporadis, email, rapat-rapat, hingga tuntutan atasan yang tidak perkait pekerjaan. Ini tidak bisa diacuhkan karena aktivitas-aktivitas itu yang menjamin berlangsungnya operasional perusahaan. Sifatnya sangat mendesak. Sementara aktivitas eksekusi strategi bersifat vital namun tidak mendesak. Kemampuan menyeimbangkan implementasi eksekusi dan tanggungjawab harian merupakan tantangan terberat dalam disiplin eksekusi.

Mengusung disiplin eksekusi adalah pilihan. Namun, bukan tanpa alasan jika Ram Charan menyatakan, "Today, the greatest difference between a company and its competitors is its ability to execute," dalam buku populernya, Execution: The Discipline of Getting Things Done. Disiplin eksekusilah yang memastikan strategi tidak hanya menjadi simbol, tetapi berperan penting dalam menjamin perusahaan mencapai kejayaannya secara berkelanjutan.

Sumber :
Sri Wahyuni
Product Manager, Dunamis FranklinCovey
READ MORE - Disiplin Eksekusi Demi Kinerja

4DX Disiplin Eksekusi - 4


4DX for Discipline 4 - Create A Cadence of Accountability

Esensi dalam menciptakan budaya eksekusi ada pada disiplin keempat. Disiplin pertama, kedua, dan ketiga menjadi tidak berarti jika tidak ada disiplin keempat. Dalam disiplin keempat ini terletak praktek, frekuensi, dan pertanggungjawaban aktivitas yang menggerakkan scoreboard. Paradigma lama mengatakan: kita tinggal melaksanakannya! Paradigma baru mengatakan:  eksekusi akan gagal tanpa perencanaan yang saksama dan tanggung jawab tim. Cadence of accountability merupakan suatu siklus merencanakan dan pertanggungjawaban yang berulang dalam mencapai tujuan. Setiap orang bertanggung jawab atas aktivitas yang telah direncanakan secara mingguan untuk eksekusi pencapaian WIGs secara terus-menerus. Untuk itu, ada dua hal yang dilakukan secara konsisten. Pertama, memaksimalkan alokasi waktu untuk pencapaian WIGs.  Kedua, mengadakan WIGs session secara mingguan.

Memaksimalkan Alokasi Waktu yang Digunakan pada WIGs
Setiap orang bekerja dalam salah satu dari empat kuadran berdasarkan urgensi dan kepentingan tugas. Untuk itu, maksimalkan waktu pada kuadran I (penting dan mendesak), artinya kita bekerja dengan perencanaan yang baik dan teratur. Dan, kita mengurangi bekerja dalam kuadran II (penting, tapi tidak mendesak) serta menghilangkan aktivitas dalam kuadran III (tidak penting, tapi mendesak), apalagi kuadran IV (tidak penting dan tidak mendesak). Untuk melakukan semua itu, perlu adanya Work Compass, yakni suatu alat yang dapat digunakan untuk mendefinisikan sasaran dan tugas-tugas setiap minggu yang harus kita selesaikan guna menggerakkan  scoreboard

Mengadakan WIGs Session

WIGs session mingguan menghasilkan   cadence of accountability  karena sesi tersebut diadakan setiap minggu dan mempunyai tiga tujuan:
  1. Account, yakni untuk melihat akuntabilitas kinerja pada komitmen individu dan tim dari minggu sebelumnya.
  2. Review scoreboard, yakni untuk memeriksa kembali catatan skor guna mengetahui apakah kita menang atau tidak. Apa pelajaran yang dapat kita ambil dari kesuksesan dan kegagalan yang kita alami.
  3. Plan, yakni untuk merencanakan bagaimana memperbaiki skor pada  minggu mendatang dan membuat perencanaan/komitmen yang baru serta koordinasi dengan yang lain terkait aktivitas yang akan dilakukan dengan clear the path.


WIGs session bukanlah rapat regular para staf. Sesi ini sangat difokuskan pada rapat perencanaan dan akuntabilitas untuk tim. Peserta bisa menjadi anggota dari satu tim kerja, tim yang berbeda fungsi, atau orang-orang yang semuanya bekerja ke arah pembuatan hasil. Jadi, kesimpulannya, 4 Disciplines of Execution (4DX) mengajarkan bagaimana kita mengeksekusi strategi yang telah kita buat, fokus terhadap WIGs yang sudah kita pilih dan dicapai dengan bertindak berdasarkan  lead measure, serta memiliki scoreboard yang menggugah anggota tim untuk menang. Dan, terakhir adalah setiap anggota tim melakukan perencanaan dengan mengadakan WIGs session sebagai pertanggungjawaban terhadap semua aktivitas yang sudah dan yang akan dilakukan. Mudah-mudahan dengan implementasi 4DX ini kita dapat membangun budaya eksekusi dalam tim dan organisasi, sehingga sasaran utama (WIGs) yang telah ditetapkan dapat tercapai dan memberikan dampak signifikan terhadap kinerja organisasi secara berkesinambungan.

Salam,
Rahmatullah Soelaiman
Sumber : Warta Ekonomi
READ MORE - 4DX Disiplin Eksekusi - 4

4DX Disiplin Eksekusi - 3


4DX for Discipline 3 - Keep A Compelling Scoreboard

Kita sering melihat anak-anak bermain bulu tangkis atau bola basket di jalanan. Awalnya, mereka bermain biasa. Namun, ketika mereka sepakat untuk mulai menghitung skornya, permainan mereka jadi berbeda. Apalagi kalau ada yang mengatakan, ”Hei, yang kalah harus traktir yang menang ya!” Nah, saat itu mereka mulai bermain dengan taktik dan strategi. Segenap pikiran dan energi difokuskan untuk memenangkan permainan. Jadi, mereka bermain dengan cara berbeda dengan ketika mereka mulai tanpa adanya penghitungan skor. nSama halnya ketika Anda masuk lapangan sepak bola Gelora Bung Karno untuk menyaksikan pertandingan yang sedang berlangsung. Apa yang pertama kali  Anda perhatikan? Jawabannya, pasti papan skor yang terpampang di dalam stadion. Anda ingin mengetahui berapa skor pertandingan saat itu.

Jadi, inilah yang menjadi tujuan dasar dari disiplin ketiga, yakni Keep A Compelling Scoreboard. Seperti yang diungkapkan oleh Jim Stuart, konsultan senior FranklinCovey, ” The fundamental purpose of a scoreboard is to motivate the players to win.” Dalam praktek dunia profesional, baik di tingkat tim maupun di tingkat organisasi, hal ini juga berlaku. Compelling scoreboard adalah sebuah catatan skor yang bisa memotivasi dan menggugah tim untuk menang. Scoreboard akan mengarahkan perencanaan dan perbaikan tindakan tim supaya WIGs ( wildly important goals) dapat dicapai. Paradigma lama mengatakan: semua orang tahu sejauh mana kita melakukan sesuatu untuk tujuan kita. Paradigma baru mengatakan: kita hanya serius terhadap tujuan kalau kita mulai membuat scoreboard.

Guna memotivasi tim untuk menang, ada dua hal yang perlu dilakukan secara konsisten. Pertama, membuat scoreboard yang benar-benar mengikat dan memberi semangat kepada semua anggota tim untuk mencapainya. Kedua, melakukan update scoreboard secara teratur. Ada lima ciri scoreboard yang baik, yang dapat kita jadikan pedoman dalam membuat compelling scoreboard. Pertama, Motivating. Jika kita menang, dapatkah kita mengatakan di mana kita sekarang dan ke mana kita seharusnya? Kedua, Simple. Dalam waktu lima detik, kita mengatakan bahwa kita menang atau kalah? Ketiga, Updateable. Dapatkah kita memperbarui skor dengan mudah? Keempat, Complete. Dapatkah kita melihat baik lead measure maupun lag measure? Kelima, Accessible. Dapatkah semua tim melihat skor dengan mudah dan kapan pun? Prinsip ketiga ini adalah pusat dari implementasi disiplin pertama dan kedua, karena kita akan selalu berpedoman kepada scoreboard ketika melakukan eksekusi.





Salam,
Rahmatullah Soelaiman
Sumber : Warta Ekonomi


READ MORE - 4DX Disiplin Eksekusi - 3

4DX Disiplin Eksekusi - 2


4DX for Discipline 2 - Act on The Lead Measure

Kita sudah tidak asing lagi dengan prinsip Pareto (80/20 principle). Prinsip ini banyak berlaku dalam kehidupan kita. Prinsip Pareto mengatakan 80% hasil yang kita dapatkan berasal dari 20% aktivitas yang kita lakukan. Dalam upaya mencapai sasaran utama (WIGs), biasanya orang terus melihat dan mengamati  lag measure dan berusaha keras untuk mencapainya. Namun, paradigma baru mengatakan seharusnya kita bertindak berdasarkan  lead measure yang merupakan penduga terbaik untuk mencapai sasaran. Lead measure (ukuran maju) adalah aktivitas Pareto yang dapat kita pengaruhi dan prediksi, sehingga kita bertindak berdasarkan aktivitas tersebut. Contoh sederhana,  kita tidak bisa mengontrol berapa sering mobil kita mogok dalam perjalanan ( lag measure). Namun, kita bisa mengontrol berapa sering kita melakukan perawatan mobil tersebut ( lead measure). Makin sering kita bertindak berdasarkan  lead measure, yaitu melakukan perawatan rutin, maka kita akan terhindar dari masalah mobil mogok di perjalanan. Tulisan kali ini baru membahas dua dari 4 Disiplin Eksekusi atau 4 Disciplines of Execution,  disingkat 4DX. Pada tulisan berikutnya, kita akan lanjutkan dengan membahas disiplin ke-3 dan ke-4 dalam upaya membangun budaya eksekusi dalam tim dan organisasi.





Salam,
Rahmatullah Soelaiman
Sumber : Warta Ekonomi

READ MORE - 4DX Disiplin Eksekusi - 2

4DX Disiplin Eksekusi -1


4DX for Discipline 1 - Focus on The Wildly Important Goals

Ada ungkapan dari Jim Collins yang cukup terkenal: Good is the enemy of great. Ungkapan tersebut mengisyaratkan bahwa kita tidak cukup hanya dengan menjadi tim atau organisasi yang baik, tetapi harus lebih dari itu. Tujuan kita adalah menjadi tim atau organisasi yang hebat (great). Untuk menjadi tim yang hebat, kita harus fokus pada prioritas utama dengan melakukan dua hal secara konsisten, yaitu menentukan  wildly important goals (WIGs) dan menentukan  lag measure untuk mencapai WIGs. WIGs adalah sasaran yang harus kita capai. Jika tidak, maka pencapaian yang lain menjadi tidak terlalu berarti. Oleh karena WIGs sangat penting, kita kemudian perlu mendefinisikan  lag measure (ukuran mundur) yang merupakan ukuran untuk pencapaian WIGs.

Paradigma lama mengatakan kita bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu dengan efektif. Namun, paradigma baru mengatakan bahwa ternyata kita hanya bisa mengerjakan satu, dua, atau tiga sasaran penting dalam satu waktu dengan hasil yang sangat baik (excellent). Memang kita bisa mempunyai banyak sasaran (goals) yang ingin dicapai dalam satu waktu. Katakanlah, enam, delapan, sepuluh, atau bahkan lebih. Namun, percayalah, hasil yang akan kita dapatkan biasa-biasa saja (mediocre). Ini akan berbeda jika kita fokus pada satu, dua, atau tiga sasaran utama. Jika itu yang kita lakukan, maka peluang kita dapat mencapai hasil yang excellent adalah pada tiga sasaran utama tersebut

Contohnya adalah Rudy Hartono. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana sebagai seorang atlet bulu tangkis Rudy Hartono bisa merebut gelar juara All England delapan kali. Pertanyaannya, mengapa beliau bisa berjaya mempertahankan gelar tersebut? Jawabannya, karena beliau fokus dalam mencapai sasaran utama, yang kita sebut dengan istilah  wildly important goals (WIGs). WIGs beliau waktu itu hanya satu, yaitu bagaimana mampu mempertahankan gelar juara All England. Alhasil, semua daya upaya difokuskan hanya untuk mempertahankan gelar tersebut. Contoh lainnya adalah best practices fokus WIG organisasi pada perusahaan penerbangan. Salah satu perusahaan maskapai penerbangan nasional telah menjadi maskapai yang terpercaya dalam hal ketepatan waktu dan pelayanan karena fokus pada sasaran utama (WIGs), yaitu selalu meningkatkan On Time Performance dan Service Level

Kemudian, bagaimana proses menentukan WIGs dalam organisasi dan tim? Untuk membuat WIGs, tim/unit haruslah memiliki "a clear line of sight" dengan WIG organisasi dan WIG tim/unit lainnya. Proses line of sight (yang biasa disebut cascading processes dalam BSC) adalah bertujuan :
  • Membangun konsistensi WIG tim/unit-unit organisasi dengan WIGs perusahaan secara keseluruhan;
  • Melalui proses line of sight, seluruh tim/unit organisasi melakukan continuous alignment terhadap perubahan visi, tujuan, dan strategi perusahaan;
  • Konsistensi WIG inilah yang menjanjikan kekohesivan organisasi dalam perjalanannya mewujudkan visi perusahaan.


READ MORE - 4DX Disiplin Eksekusi -1

4DX Disiplin Eksekusi


4 Disciplines of Execution : 

Sebagian dari kita punya kebiasaan jalan-jalan bersama keluarga ke toko buku pada akhir pekan. Salah satu kebiasaan kita saat berada di toko adalah melihat-lihat apakah ada buku-buku baru. Jika ada satu topik bertengger dalam benak, kita pun segera fokus pada judul-judul terkait.

Sekarang, marilah kita lakukan pengamatan singkat. Berapa banyak buku yang ada di rak bagian Manajemen, yang memajang buku-buku tentang strategi? Jawabannya, kemungkinan besar banyak tersedia. Kemudian, coba lihat berapa banyak buku yang membahas tentang bagaimana cara mengeksekusi strategi. Jumlahnya bisa jadi sangat kecil.

Situasi tersebut sama halnya dengan banyaknya orang yang masuk sekolah bisnis yang terkenal dan belajar bagaimana membuat dan menyusun strategi yang hebat. Namun, bagaimana cara mengeksekusi strategi tersebut, kurang banyak dibicarakan, atau tidak sebanyak pembahasan tentang strategi. Nah, guna menjawab tantangan di atas, tulisan berikut mencoba mengupas secara singkat bagaimana melakukan eksekusi terhadap strategi dan sasaran yang telah ditetapkan untuk menjadi perusahaan yang hebat (a great company).

Stephen R. Covey,  dalam buku The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness, mengatakan, “It’s one thing to come up with great strategies and goals, but it’s quite another to actually get them done. This is called the execution gap.” (Merencanakan strategi dan sasaran yang hebat adalah satu hal penting, tetapi melaksanakan strategi dan sasaran tersebut adalah hal yang berbeda. Inilah yang disebut dengan “ execution gap”.).

Pada umumnya, banyak organisasi dalam dunia bisnis yang telah mengeluarkan biaya besar untuk membuat strategi yang hebat— kita sebut saja mereka memperoleh predikat A. Namun, untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, di samping strategi yang hebat, kita juga perlu eksekusi yang kuat. Ada pernyataan menarik yang diungkapkan oleh Chatherine Nelson. Katanya,  An “A” execution of a “B” strategy is better than a “B” execution of an “A” strategy (Sebuah eksekusi yang hebat atas strategi yang tidak terlalu hebat lebih baik daripada eksekusi yang tidak terlalu hebat atas strategi yang hebat).

Sekarang sebuah pertanyaan muncul: mengapa suatu organisasi yang memiliki banyak orang yang berbakat dan strategi yang hebat, gagal mewujudkan perencanaan dan strateginya? Ram Charan, mantan guru besar Harvard Business School, dalam bukunya yang saat ini telah menjadi best seller, Execution: The Discipline of Getting Things Done, mengatakan, “It’s rarely for a lack of smart or vision. It’s bad execution. As simple as that: not getting things done, being indecisive, not delivering on commitments.”

Bagaimana peran seorang  business leader saat ini? Barangkali jawabannya sangat sederhana: mendapatkan hasil (result)  dalam bisnis.Dan, hasil tersebut berasal dari dua input, yaitu Strategi dan Eksekusi dari Strategi tersebut. Keduanya ibarat dua sisi dari mata uang yang sama. Jadi, suatu hasil yang tidak tercapai kemungkinan hanya disebabkan oleh satu dari dua hal berikut ini: strategi yang salah, atau eksekusi strategi tersebut yang tidak efektif.

Saat ini banyak leader yang mempunyai paradigma bahwa ketika mereka telah membuat strategi bisnis dari proses analisis yang mendalam, maka mereka bisa berbangga telah menjadi business leader. Begitu meeting yang panjang di sebuah hotel di luar kota rampung, dengan menghasilkan strategi perusahaan yang hebat dan memukau, maka sang business leader menarik napas lega. Dia bangga bahwa strategi yang berhasil disusun tampak hebat dan memukau semua orang di perusahaan.

Selanjutnya tentu saja menjadi tugas para anak buah untuk mewujudkan atau melaksanakan strategi tersebut. Jika saja ada pemimpin bisnis yang berpikir seperti itu, alangkah sayangnya. “Execution is a leader’s most important job. Execution is the major job of a leader and must be the core element of an organization’s culture,” ungkap Ram Charan.

Pernyataan Ram Charan itu menarik untuk kita telaah. Ada tiga hal penting yang diungkapkan oleh Ram Charan dalam bukunya, Execution: The Discipline of Getting Things Done. Pertama, eksekusi adalah disiplin dan bagian yang tidak terpisahkan dari strategi. Kedua, eksekusi adalah pekerjaan utama seorang pemimpin bisnis. Ketiga, eksekusi haruslah menjadi komponen utama dalam budaya organisasi.

Sekarang, pertanyaan yang muncul adalah: mengapa eksekusi bisa gagal? Untuk mengetahui jawabannya, marilah kita simak satu penelitian yang dapat mengantarkan kita pada jawaban tersebut. FranklinCovey, bekerja sama dengan Harris Interactive, lembaga jajak pendapat di Amerika Serikat, melakukan xQ (Execution Quotient) Survey terhadap 12.000 pekerja AS sepanjang Desember 2003. Hasil dari survei tersebut, ditemukan ada empat faktor penyebab kegagalan eksekusi, yakni:

  1. Orang tidak tahu apa yang menjadi sasaran (goal);
  2. Orang tidak tahu bagaimana cara mencapai sasaran (goal) tersebut;
  3. Orang tidak mengukur/menjaga skor;
  4. Orang tidak bertanggung jawab terhadap kemajuan dalam pencapaian sasaran (goal).

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh FranklinCovey, ada empat disiplin yang harus dilakukan dalam mengeksekusi, yang dikenal dengan istilah ”4 Disciplines of Execution”, atau disingkat dengan 4DX, yaitu:

  1. Fokus pada sasaran paling penting (Focus on the wildly important goals);
  2. Bertindak berdasarkan ukuran penghantar (Act on the lead measure);
  3. Terus menggunakan papan skor yang menggugah (Keep a compelling scoreboard);
  4. Menciptakan irama pertanggungjawaban (Create a cadence of accountability).

Kata kunci dalam implementasi 4DX adalah “disiplin”. Apa yang dimaksud dengan disiplin? Ini pertanyaan yang menarik untuk dijawab. Disiplin adalah keteraturan konsisten yang memandu kita untuk bertindak secara bebas dan bertanggung jawab (Discipline is a consistent regiment that leads to freedom of action). Dalam tulisan selanjutnya, akan kita lihat bagaimana praktek pelaksanaan empat disiplin tersebut satu per satu.

Untuk lebih memudahkan memahami 4 Disciplines of Execution (4DX), marilah kita mulai dengan contoh tentang seseorang yang telah menjalankannya. Barangkali sebagian dari kita pernah mendengar nama Lance Armstrong. Dia adalah pembalap sepeda yang berhasil memenangkan turnamen Tour de France tujuh kali berturut-turut. Ketika berumur 15 tahun, Armstrong adalah seorang atlet triatlon (renang, balap sepeda, dan lari). Kemudian, dia menyadari bahwa bakat dan potensi utamanya adalah pada cabang balap sepeda. Maka, dia fokus untuk lomba di arena balap sepeda. Lalu, dari sekian banyak lomba balap sepeda, Armstrong memfokuskan diri untuk berlomba di Tour de France. Jadi, yang menjadi sasaran utama ( wildly important goal) Armstrong adalah memenangkan Tour de France. Untuk mencapai WIG tersebut, apa yang dilakukan  Armstrong? 

Dia berlatih keras dengan menjalani setiap inci tur dan memperhatikan diet, pola makan, serta kebiasaan latihan dengan menjelajahi tiap tanjakan 1–2 bulan sebelum lomba.  Armstrong memulai Tour de France dengan memperhatikan angka, mulai dari berat badan hingga kecepatan bersepeda. Balap sepeda adalah olahraga tim. Maka, untuk memenangkan Tour de France,  Armstrong dan timnya mempunyai peran yang jelas. Akhirnya, dengan kerja tim yang solid, Armstrong dapat dengan mudah mengalahkan musuh-musuhnya hingga garis finis. Dan, Armstrong berhasil menjadi juara Tour de France tujuh kali berturut-turut. Nah, di bawah ini akan diuraikan tentang praktek pelaksanaan empat disiplin tersebut satu per satu





Salam,
Rahmatullah Soelaiman
Sumber : Warta Ekonomi

READ MORE - 4DX Disiplin Eksekusi

Sunday, February 24, 2013

Disiplin Eksekusi

4DX
Disiplin Eksekusi Demi Kinerja yang Hebat
Monday, 4 April 2011

Oleh : Sri Wahyuni/Dunamis FranklinCovey

Kinerja yang "baik" mungkin dirasa sudah cukup bagi sebagian organisasi. Pertanyaannya, apakah kinerja yang "baik" itu sudah cukup untuk bertahan di masa ini? Untuk dapat terus hidup dan bertumbuh, setiap perusahaan membutuhkan kinerja yang hebat secara berkesinambungan. Alasannya, Sustainable Superior Results inilah yang memastikan setiap individu, tim, maupun organisasi secara keseluruhan dapat mencapai hasil yang mantap di aspek-aspek organisasional lainnya.

Pertanyaan selanjutnya, apa yang harus dilakukan untuk mencapai performa demikian? Bagi kami, hal utama yang harus dilakukan adalah mengeksekusi sasaran-sasaran paling penting dari organisasi. Secara disiplin dan konsisten tentunya. Bagaimana caranya? Hal-hal seperti apa yang harus menjadi fokus perusahaan? Apa maknanya jika kita berfokus pada upaya-upaya untuk memperbaiki eksekusi? Apa bedanya eksekusi yang dilakukan tim berkinerja hebat dengan tim yang "biasa-biasa" saja?

FranklinCovey selama lebih dari tujuh tahun terakhir, bekerjasama dengan Jim Collins dan Ram Charan banyak melakukan studi untuk memahami tantangan-tantangan yang berhubungan dengan upaya mencapai sustainable superior results ini pada lebih dari 500 perusahaan dan melibatkan lebih dari 300 ribu karyawan. Riset terakhir dilakukan di bisnis ritel untuk Coca Cola Amerika Utara.

Riset tersebut menghasilkan jawaban dari pertanyaan: Apa faktor-faktor esensial yang membedakan perusahaan yang memiliki kinerja great dengan yang biasa-biasa saja?

Kebanyakan manajer berargumen bahwa bisnis yang dikelola sangat unik dan spesifik, sehingga banyak faktor membatasi potensi mereka untuk mencapai hasil yang luar biasa. Belum lagi kecilnya segmen pasar, meningkatnya harga minyak dunia, kompetisi yang sangat kejam, dan faktor-faktor lainnya. Padahal, sebagian perusahaan yang memiliki kinerja yang hebat tidak bergerak di bisnis yang sepi kompetisi atau memiliki sumber daya tak terbatas, misalnya saja bisnis sewa mobil, perhotelan, penerbangan, hingga bisnis makanan. Sehingga, alasan-alasan tersebut rasanya tidak relevan untuk dihubungkan dengan kinerja yang biasa-biasa.

Riset FranklinCovey mendapati bahwa lemahnya eksekusi strategi adalah penyebab utama kegagalan perusahaan mencapai sasaran-sasaran terpenting. Sebagian besar pemimpin menganggap remeh eksekusi. Ini terbukti ketika mereka diajukan pertanyaan, "Bagaimana Anda mengeksekusi strategi perusahaan?" Ada yang menjawab dengan fokus pada komunikasi internal, menindaklanjuti prosedur, atau hal-hal yang sama sekali tidak relevan dengan aktivitas-aktivitas implementasi strategi. Ketika digali lebih dalam lagi, banyak yang bahkan tidak memahami detil pekerjaan yang mereka sebut sebagai eksekusi strategi.

Krisis ekonomi yang menimpa dunia satu dekade belakangan membuat para pemimpin bisnis menghadapi tantangan untuk mendapatkan hasil jangka pendek sekaligus mempertahankannya untuk kepentingan organisasi untuk jangka panjang. Karenanya sangat relevan bila para manajer, yang memimpin langsung operasional perusahaan, secara disiplin mengeksekusi sasaran-sasaran penting perusahaan untuk memastikan eksistensi perusahaan. Apalagi yang terkait dengan bottom line.

Berikut adalah The Gobal Top 10 Challenges List dari World Economic Outlook Database, yang dikeluarkan IMF pada 2006.

Sebuah firma bidang IT berskala internasional membuktikan betapa disiplin eksekusi menyelamatkan mereka dari kegagalan mencapai target-target penting yang terjadi berulang. Perusahaan memiliki agenda atas 20 sasaran strategis yang diusung setiap divisi. Sayangnya, karena tidak memiliki kejelasan akan prioritas, para karyawan menghabiskan waktu pada aktivitas harian yang tidak mendukung pencapaian sasaran utama perusahaan.

Melalui Disiplin Eksekusi, FranklinCovey akhirnya membantu organisasi menanamkan proses yang jelas serta perubahan perilaku yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan eksekusi strategi perusahaan. Para pemimpin senior menciptakan visi yang jelas, serta menetapkan hanya 3 sasaran strategis yang harus dicapai. Mereka memastikan bahwa visi tersebut, serta kejelasan akan apa saja yang harus dilakukan untuk mencapainya, dipahami oleh setiap jenjang dalam organisasi. Setiap karyawan mengerti benar bagaimana sasaran-sasaran dari unit masing-masing mendukung pencapaian sasaran organisasi.
Dalam satu tahun, perusahaan bertransformasi menjadi organisasi yang sangat fokus dan mampu mengelola sumber daya, anggaran, serta proyek dengan sangat efektif. Lebih penting lagi, mereka mampu menentukan produk-produk, teknologi, market, serta pelanggan yang bisa "membawa untung."

Eksekusi bukan sesuatu yang baru, hanya saja kemampuan untuk melaksanakan eksekusi secara konsisten dan brilian masih menjadi tantangan terbesar dekade ini.

Eksekusi adalah disiplin yang mendukung perusahaan mencapai sasaran-sasaran strategisnya. Ini membutuhkan kemampuan pemimpin dalam mengidentifikasi dan menajamkan fokus pada sasaran-sasaran dan aktivitas-aktivitas tim yang berdampak kuat terhadap target organisasi. Selanjutnya, pemimpin harus mampu melakukan perbaikan secara terus menerus dan dengan merujuk pada kemajuan yang telah dicapai setiap minggu. Satu hal terpenting dari disiplin eksekusi yaitu memastikan setiap anggota tim memiliki akuntabilitas atas aktivitas-aktivitas yang dilakukan setiap minggunya.

Eksekusi yang efektif memiliki 6 prinsip utama. Kami menyebutnya CCTESA. Clarity, Commitment, Translation of Strategic Goals to Daily Tasks, Enabling, Synergistic Teamwork, dan Accountability.

Eksekusi strategi yang efektif sepintas terlihat serupa dengan taktik-taktik bisnis lain yang dapat dengan mudah diimplementasikan. Namun, tidak demikian faktanya. Tidak semudah itu menerapkan disiplin eksekusi. Tugas-tugas harian yang mendesak kerap menjadi penghalang utama untuk suksesnya sebuah sistem eksekusi. Ini popular disebut "whirlwind."

Whirlwind menyebabkan karyawan kehilangan fokus pada sasaran strategis yang kritikal akibat serbuan pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya administratif, krisis-krisis sporadis, email, rapat-rapat, hingga tuntutan atasan yang tidak perkait pekerjaan. Ini tidak bisa diacuhkan karena aktivitas-aktivitas itu yang menjamin berlangsungnya operasional perusahaan. Sifatnya sangat mendesak. Sementara aktivitas eksekusi strategi bersifat vital namun tidak mendesak. Kemampuan menyeimbangkan implementasi eksekusi dan tanggungjawab harian merupakan tantangan terberat dalam disiplin eksekusi.

Mengusung disiplin eksekusi adalah pilihan. Namun, bukan tanpa alasan jika Ram Charan menyatakan, "Today, the greatest difference between a company and its competitors is its ability to execute," dalam buku populernya, Execution: The Discipline of Getting Things Done. Disiplin eksekusilah yang memastikan strategi tidak hanya menjadi simbol, tetapi berperan penting dalam menjamin perusahaan mencapai kejayaannya secara berkelanjutan.

Sri Wahyuni
Product Manager, Dunamis FranklinCovey

Disiplin Eksekusi
READ MORE - Disiplin Eksekusi

4dx


4DX - 4 Disiplin Eksekusi (The 4 Diciplines of Execution)
MENGATASI KESENJANGAN EKSEKUSI "Merencanakan Strategi dan Goal yang Hebat adalah 1 (satu) hal Penting, tetapi Mengeksekusi Strategi dan Goal Tersebut Merupakan Hal yang Berbeda. Perbedaan inilah yang disebut KESENJANGAN EKSEKUSI." - Stepen R. Covey -

PEMBAHASAN I

MEMAHAMI KESENJANGAN EKSEKUSI

Seorang Pemimpin atau Manajer harus bertanya apa yang menjadi tanggung jawab Anda?

MENGHASILKAN SESUATU ...
(Delivery the RESULT ...)

Hasil yang saudara peroleh dipengaruhi oleh 2 (dua) hal.
Hal-hal yang dapat saudara kendalikan.
Hal-hal yang tidak dapat saudara kendalikan.
Pada dasarnya, ada dua hal yang saudara bisa kendalikan, yaitu :
Perencanaan : contohnya, hal-hal apa saja yang ingin saudara capai).
Eksekusi dari rencana tersebut (bagaimana saudara bisa mencapainya).
Berdasarkan pengalaman saudara sekarang, manakah yang menurut saudara lebih sulit dilakukan ? Pertama, apakah permasalahan perencanaan ? (the plan ?)
atau kedua, masalah eksekusi dari perencanaan ? (the execution ?) .

Tampaknya seringkali Saudara kesulitan justru pada masalah eksekusi, bukan ?

Kevin Rollins, CEO dari Dell Computers mengatakan demikian, "Jika anda melihat beberapa perusahaan yang sukses di luar sana, mereka bukan saja memiliki perencanaan strategi yang baik, tetapi mereka adalah perusahaan yang gigih dalam penerapan atau pelaksanaan sesuatu."

Kita seringkali mengangggap remeh berbagai masalah yang timbul pada saat eksekusi.

Ketika sebuah tujuan baru tercipta, seseorang perlu melakukan sesuatu, mungkin mengerjakan hal yang belum pernah mereka lakukan sebelumny, jika tidak, eksekusi tidak pernah terjadi. Orang-orang ini mungkin juga perlu merubah perilaku mereka.

Merubah perilaku adalah mungkin merupakan hal yang tersulit yang pernah kita lakukan - sesulit menjelaskan mengapa banyak organisasi lolos dari 'jurang eksekusi'.

APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN EXECUTION GAP ATAU KESENJANGAN EKSEKUSI ?

Sebuah penelitian dari beberapa perusahaan sektor publik menemukan bahwa hanya 13 % dari mereka yang berhasil secara konsisten mencapai target finansial mereka selama era tahun 1990, suatu era yang paling menjanjikan dan makmur sepanjang sejarah dunia bisnis. Dan perkiraan menunjukkan bahwa 7 dari 10 perencanaan strategis gagal (*Chris Zook, dan rekan., Profit from the Core, Bain &co., 2002).

Jadi sebuah organisasi bisa saja teta gagal walaupun memiliki orang orang yang berbakat dan rencana strategis yang luar biasa. Dan tidak sedikit yang gagal karena itu. Menurut Ram Charan, seorang Profesor dari Harvard Business School, "Itu tidak dikarenakan perusahaan tersebut kurang pandai atau memiliki visi yang kurang baik, tetapi sederhana saja, masalahnya adalah masalah eksekusi atau pelaksanaannya. Memang sangat sederhana sebetulnya masalah-masalah yang ditemukan: Seperti tugas-tugas yang tidak dilaksanakan, tidak mampu membuat keputusan, ketidakmampuan menjalankan komitmen yang telah di buat".
(*Charan,R.,Colvin,G., "Why CEOs Fail", Fortune, 21 Juni 1999, hal. 69).

Ram melanjutkan, "Masalah terbesar di dunia bisnis yang jarang dibicarakan adalah "Kesenjangan Eksekusi". Ini adalah jurang yang memisahkan antara membuat sebuah tujuan atau goal dengan mencapai tujuan atau goal itu sendiri.


ADA 4 (EMPAT) PERMASALAHAN DI DALAM EKSEKUSI

Ada 4 (empat) alasan yang menyebabkan terjadinya 'Execution Gap' :
Orang-orang tidak tahu tujuan atau Goal yang ingin dicapai.
Orang-orang tidak mengerti apa yang harus dilakukan untuk mencapai goal tersebut.
Orang-orang tidak memiliki tolak ukur (indicator seberapa jauh tujuan telah dicapai selama proses).
Orang orang yang terlibat dalam proses pencapaiana tujuan tidak bertanggung-jawab atas perkembangan dari goal yang mereka mau capai.

Hasil tersebut diatas didapat melalui serangkaian survei xQ yang dilakukan terhadap 12.000 pekerja di Amerika Serikat, oleh peneliti dari FranklinCovey dan Harris Interactive pada bulan Desember 2003 (*Bossidy, L. Charan, R. Execution: The Dicipline of Getting Things Done, Harper Business, 2002, hal.38).

People Dont't Know the Goal
(Orang-orang tak tahu tujuan atau goal yang ingin dicapai)

Walaupun 49% pekerja yang disurvei mengaku mengetahui tujuan / goal dari organisasi tempat mereka bekerja, sesungguhnya hanya 15 % saja dari mereka yang bisa menjelaskan tujuan atau goal tersebut. Bayangkan jika hanya 1 dari 6 pekerja yang mengetahui tujuan / goal mereka, tentunya saudara akan menemukan masalah dalam eksekusi.

People Don't Know What to Do To Achieve the Goal
(Orang-orang tidak mengerti apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan/Goal)

Pada satu pertanyaan survey sebuah pernyataan dikeluarkan. 'Saya mengerti betul apa yang harus saya lakukan untuk membantu pencapaiaan goal organisasi'. Pertanyaan ini mengharapkan jawaban ya/tidak. Pada lembar jawaban, hanya 54 % menjawab ya. Ini menjelaskan bahwa secara tidak langsung, hampir setengah dari para pekerja tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, dan bisa setengah dari orang yang menjawab ya tersebut, tidak jujur kepada diri mereka sendiri tentang hal tersebut.

People Don't Keep Score
(Orang-orang tidak memiliki Tolak Ukur)

Hanya sekitar 12 % saja dari pekerja yang bisa menjelaskan bagaimana cara mengukur kesuksesan pencapaian tujuan di organisasi tempat mereka bekerja. Kalau orang-orang yang melakukan pekerjaan ini tidak tahu tolak ukurnya, bagaimana mereka bisa tahu jika mereka sedang mengalami kemajuan atau tidak ? Dan bagaimana mereka bisa mencapai hasil yang tepat jika tolak ukurnya salah ?

People Are Not Held Accountable for Progress on The Goal
(Orang-orang tidak bertanggung-jawab atas perkembangan dari pencapaian tujuan atau goal)

Hanya 26 % dari pekerja melakukan pertemuan secara rutin (bahkan untuk pertemuan bulanan) dengan atasan mereka untuk mereview perkembangan dari pencapaian setiap tujuan / goal. ini berarti hanya 3 dari 4 pekerja yang sedikitnya membahas ataupun membicarakan goal yang menjadi tanggung-jawab mereka dengan manajemen.

Mengapa hasil survey begitu buruk ?

Padahal dari kacamata para pemimpin bahwa goal yang ada sudah sangat jelas dan strategi perencanaan yang dibuat juga menantang ? Para pemimpin akan membuat suatu hari dimana ia akan mempresentasikan strategi maupun goal yang dibuatnya. Sebuah presentasi brilliant, semua orang akan berdiri dan bersorak sorai. Jika Anda seorang pemimpin, bisa jadi hal tersebut moment terbaik saudara.

Tapi, Tunggu dulu, .....
Ini juga momen yang paling tidak enak diakui, ini adalah momen yang sesungguhnya . Sebab, hanya setengah saja dari orang-orang yang berada di ruangan itu yang mendengarkan goal yang Saudara miliki, dimana hanya setengahnya lagi dari yang mendengarkan yang sesungguhnya tahu tentang apa yang seharusnya mereka lakukan dengan goal-goal tersebut. Dan lebih parahnya, hanya setengahnya lagi dari jumlah itu yang tahu apa yang harus dilakukan yang betul-betul berusaha untuk mencapai goal dan pada kesimpulannya, banyak diantara mereka (para pekerja) yang tidak peduli tentang apapun yang berhubungan dengan itu.

Pada kesimpulannya, memang hanya sedikit saja orang yang tahu goal organisasi mereka, sadar akan apa yang harus mereka lakukan dengan goal tersebut, mengetahui tolak ukur, dan juga melaporkan perkembangan pencapaiannya.

:: THE WHIRLWIND ATAU PUSARAN ANGIN PUTING BELIUNG ::

Masalah kerap kali muncul dari konflik 2 (dua) kekuatan yang ada:
Pertama, dibutuhkan energi yang hebat untuk mengelola dan menjaga perputaran bisnis (kami menamakan hal ini "Whirlwind" of the day to day atau Pusaran angin atas pekerjaan sehari hari).
Kedua, dibutuhkan energi untuk mengarahkan goal demi mencapai perbaikan dalam kinerja.
Saudara mungkin berfikir keduanya berbicara tentang hal yang sama, namun tidak demikian adanya. Pusaran angin ini adalah rutinitas pekerjaan yang Saudara lakukan setiap hari yang hanya untuk menjalankan segala sesuatu. Ini tentang membuat prioritas mana yang penting dan mana yang harus segera anda tindaklanjuti segera.

Ada konsekuensi yang akan terjadi jika Saudara mengindahkan "Whirlwind" ini. Coba saja Saudara berhenti menjawab email ataupun merespon voice mail selama beberapa hari, dan perhatikan dampaknya. Dan yang lebih menarik lagi, bisa saja Saudara berada di tengah tengah putaran ini Saudara merasakan putarannya.

Goal utama di organisasi berbicara mengenai hal yang penting dan justru seringkali bukan tentang hal yang mendesak. Saudara perlu menginvestasikan waktu Saudara untuk mencapai Goal Utama tersebut atau Goal tersebut tidak akan pernah terjadi. Masalahnya, seringkali hal-hal yang mendesak dinomersatukan dan mengalahkan hal-hal yang penting.

Seorang klien dari perusahaan Fortune 50 menjelaskan " Tahukah Anda, apa yang membuat kami mengalami kesenjangan eksekusi ? Kami tidak berurusan dengan naga raksasa yang menyerang kami ke bawah, yang menghalangi kami memenuhi prioritas kami. Yang ada didekat kami itu (lalat). Setiap hari, ada saja lalat dimata kami yang membuat kami tidak focus pada wildly important goal kami. Ternyata, ketika kami melihat kebelakang selama 6 bulan terakhir, ya ampun, kami belum melakukan hal-hal penting yang kami janjikan untuk dapat kami lakukan !".
Coba pikirkan satu saja strategi utama ataupun suatu inisiatif yang gagal di tengah jalan.
Apa yang membunuhnya ?
Apakah strategi tidak ditindaklanjuti ?
Atau orang-orang harus menelaah kembali apa yang selama ini mereka pikir sebagai "Pekerjaan yang sesungguhnya" ?

Jika jawabannya adalah "Ya", berarti Saudara telah mengalami apa yang dikatakan kebanyakan organisasi alami yaitu menghilangnya goal-goal dan prioritas penting akibat terjebak di Pusaran Angin.

Inilah kesimpulannya. Tantangan terbesar dalam eksekusi bukanlah tentang mencapai goal. Karena organisasi Saudara biasanya dipenuhi orang-orang yang tahu bagaimana mencapai sebuah tujuan/goal. Masalah utamanya dari eksekusi adalah BAGAIMANA CARANYA MENCAPAI GOAL DI TENGAH TENGAH PUSARAN ANGIN !

Suatu Contoh Eksekusi yang Luar Biasa ...

Dibutuhkan disiplin tinggi dalam mengeksekusi sebuah perencanaan strategis guna mencapai goal dengan semangat tinggi. Namun itu bisa terjadi.

Suatu contoh yang luar biasa adalah sebuah jaringan hotel kelas atas yang membuat goal : 97% tamu akan kembali menginap. "Jika Anda pernah menginap disini, kami ingin Anda kembali !" Itulah mantranya. Dan mereka pun mengeksekusi gaol tersebut dengan sangat baik.

Mereka memutuskan untuk mencapai apa yang mereka sebut sebagai "service yang memuaskan yang bersifat personal terhadap setiap orang." Ketimbang memusatkan fokus terhadap pengadaan barang-barang seni yang bernilai di hotel mereka maupun memenuhi hotel dengan furnitur yang berlebihan, mereka memutuskan untuk memberikan para tamu sebuah kenyamanan seperti berada di rumah sendiri.

Jadi apakah yang berbeda dari yang mereka lakukan ?

Setiap anggota staff hotel memiliki peran yang berbeda dalam mencapai goal. Seorang housekeeper misalnya, ia akan dengan sangat teliti memasukkan data ke komputer berupa kegemaran ataupun kebiasaan para tamu, sehingga mereka bisa menyediakan servis yang sama setiap para tamu ini datang kembali. Pada suatu kesempatan, ada seorang tamu meminta pembersih kamar untuk membiarkan cerutu di asbak karena ia akan kembali ke kamar lagi. Ketika ia kembali, ditemukannyalah cerutu baru dengan merk yang sama di asbak. Dia pikir itu adalah servis yang hebat, namun dia tidak pernah mengharapkan akan menemukan cerutu dengan merek yang sama berada di kamar hotel lain dari jaringan hotel yang sama beberapa bulan kemudian. Dia bilang, "Saya harus kembali hanya untuk melihat cerutu tersebut akan ada lagi! Mereka sudah memiliki saya!".

Housekeeper kemudian memiliki beberapa tugas baru yang harus dilakukan : Mencatat kebiasaan atau kegemaran para tamu, melakukan pendataan dan mengecek data dari komputer dan melaksanakan apa yang menjadi kebiasaan si tamu. Ditambah lagi, mereka harus tetap membersihkan kamarnya. Jelaslah, bahwa para housekeeper tidak akan mungkin bisa melakukan segala sesuatu jika mereka tidak tahu secara jelas hal-hal berikut ini:
Bahwa goal yang menjadi prioritas adalah bagaimana membuat para tamu kembali.
Bahwa tugas-tugas atau pekerjaan baru sangat penting dilakukan untuk mencapai goal.
Bahwa mereka akan selalu mengukur setiap tugas atau pekerjaan dengan teliti.
Bahwa mereka akan bertanggung-jawab untuk komitmen mereka secara berkala dan teratur.

Dengan kata lain:
Mereka tahu goalnya.
Mereka tahu bagaimana cara mencapai goal
Mereka memiliki tolak ukur.
Mereka akan bertanggung-jawab untuk setiap hasil.

Inilah apa yang disebut ciri-ciri penerapan 4 Disiplin Utama dari Eksekusi.

Setiap orang ingin menang. Setiap orang mau memberikan kontribusi nyata. Tetapi terlalu banyak organisasi yang kekurangan disiplin - Aksi yang waspada dan konsisten dalam mengeksekusi goal utama dengan semangat tinggi. Fakta bahwa sebuah organisasi gagal dalam melaksanakan eksekusi sangat mengenaskan mengingat kenyataan bahwa mereka memiliki orang-orang yang berniat memberikan yang terbaik. Tapi masalahnya, hal yang paling bisa memotivasi adalah kesempatan untuk berada dalam tim yang orang-orang tahu goalnya dan memiliki kegigihan untuk mencapainya.

4DX - 4 Disiplin Eksekusi

Terima kasih
READ MORE - 4dx

Friday, February 22, 2013

rental forklift

rental forklift
rental forklift




Jl. Sunter Agung Podomoro
Blok N2, No. 9-10, Sunter, Jakarta Utara 14350
Phone : +6221 6519127 (Hunting)
Fax : +6221 6511095
Hp : 08128759369
READ MORE - rental forklift

sewa forklift

sewa forklift
sewa forklift



Jl. Sunter Agung Podomoro
Blok N2, No. 9-10, Sunter, Jakarta Utara 14350
Phone : +6221 6519127 (Hunting)
Fax : +6221 6511095
Email : rahmatullah@satrindo.co.id
hp : 08128759369
READ MORE - sewa forklift

Thursday, February 21, 2013

Kawah Candradimuka ala Astra

Kawah Candradimuka ala Astra
RePosted on Feb 21, 2013 by admin from SWA
  
Sembilan Mei 2006. Hari itu adalah momen bersejarah bagi pria berusia 34 tahun yang berperawakan tinggi besar ini. Setelah 7 tahun merintis karier di PT Astra International Tbk. (Astra), Gidion Hasan, terpilih sebagai salah seorang direksi di anak perusahaan yang dibangun oleh William Soeryadjaya itu. Lompatan kariernya bisa dikatakan melesat. Di usianya yang masih cukup muda, ia telah memperoleh kepercayaan sebagai Direktur Keuangan PT United Tractors (UT).
 
Sejak awal, Gidion memandang Astra sebagai perusahaan yang bakal memberinya peluang untuk mengembangkan diri. Terbukti, sejak bergabung di perusahaan ini pada 1999 sebagai Manajer Corporate Finance, kariernya terus melejit. Selanjutnya, lulusan Finance dari Roger State University, Amerika Serikat ini naik menjadi Manajer Senior, lalu General Manager, hingga Chief Corporate Planning & Strategy Astra, sebelum akhirnya ditempatkan menjadi Direktur Keuangan di UT. Setiap jabatan rata-rata ditempuhnya dalam tempo dua tahun. Saya pikir, mengapa bisa sampai ke posisi sekarang, jawabannya adalah, pertama berkat Tuhan. Kedua, berkat Tuhan. Dan ketiga, juga berkat Tuhan, tutur Gidion merendah. Di samping itu, ia pun mengakui, kesempatan untuk menjadi pemimpin di Astra memang terbuka lebar. Jadi, Tergantung pada diri kita juga, tukasnya.
 
Hal ini dibenarkan VP Chief SDM Korporat & Pengembangan Manajemen PT Astra International Tbk., F. X. Sri Martono. Dijelaskan Martono, perusahaannya senantiasa memberikan kesempatan kepada orang-orang muda yang memiliki bakat memimpin. Menyiapkan kader merupakan bagian penting dari sistem manajemen Astra, katanya. Sejak dulu,  Astra memiliki strategi 3W, yaitu: winning team, winning concept, dan winning system. Winning team harus dibangun agar setiap kali ada kebutuhan pemimpin baru, kami bisa menyediakan, ungkap Martono. Caranya?
 
Martono memaparkan, pihaknya menyiapkan orang-orang terbaik untuk dimasukkan dalam pool talenta. Orang-orang itu dipilih sesuai dengan kebutuhan Astra 10-15 tahun ke depan. Pool  talenta harus dikelola dengan baik. Jika ada yang keluar untuk menempati suatu jabatan penting, secara otomatis akan ada yang mengisi kursi kosong di  pool itu, katanya.
 
Orang-orang yang berada dalam pengelolaan Martono, bisa dikatakan sebagai calon pemimpin Astra. Mereka itu masuk dalam golongan 6 dan 7 atau setaraf dengan posisi eksekutif. Tool untuk menentukan mereka yang masuk adalah mengumpulkan data dari masing-masing kader yang berasal dari anak-anak perusahaan. Datanya bisa dilihat dari individual development plan (IDP), individual carrier plan (ICP), dan lain-lain. Namun, Martono menegaskan, penilaian terpenting dari para kader adalah kompetensi dan karakter masing-masing.
 
Kebutuhan akan kader pemimpin sudah tercermin dalam IDP. Dan itu bisa dalam bentuk in-class training, special asignment, dan sebagainya. Sebagai contoh, seseorang yang akan ditunjuk menjadi direktur di PT A, sebelumnya diberi eksposure lebih dulu. Contoh lainnya, sebelum menjadi kepala cabang, seseorang diberi tugas sebagai kepala bengkel. Yang menarik, Bidangnya bisa beda sama sekali. Hal itu sengaja kami lakukan sebagai bagian dari pengembangan SDM (human resource development/HRD), Martono menjelaskan.
 
Tentu saja, cara ini berbeda dari pengaderan pemimpin di masa lalu. Dulu, seorang pemimpin akan naik jabatannya berdasarkan garis lurus. Misalnya, orang yang pintar jualan, jabatannya akan naik menjadi kepala cabang, hingga direktur penjualan di kantor pusat. Metode seperti itu, ditandaskan Martono, tidak bisa digunakan lagi karena kebutuhan bisnisnya sudah semakin kompleks. Dengan demikian, untuk menjadi pemimpin sejati seseorang harus menguasai semua area di perusahaan.
 
Hal yang sama dialami Martono sebelum menduduki posisinya saat ini. Sebelumnya, Martono diputar-putar ke berbagai bagian. Dulu sebelum di HRD, saya pernah memegang bagian pemasaran, juga engineering, ungkapnya. Mengapa harus ada perputaran posisi untuk sampai ke posisi sekarang? Dijelaskannya, seorang kepala cabang, misalnya, dia sebenarnya memegang unit bisnis. Sebagai pemimpin, kepala cabang harus bisa menguasai proses bisnis di cabang yang dipimpinnya. Bila seorang kepala cabang hanya menguasai salah satu bidang, katakanlah penjualan atau pemasaran, besar kemungkinan dia akan lemah di bidang keuangan atau operasional. Padahal, sebagai kepala cabang, dia harus bisa menghasilkan profit. Karena itu, seorang kepala cabang dituntut mengerti operasional, pintar jualan, mengerti soal keuangan, serta mampu mengelola dan memotivasi orang. Pola dan review dalam menilai calon pemimpin saat ini sudah berubah. Dulu pertanyaan pertama adalah berapa jualannya? Tapi sekarang, itu menjadi pertanyaan terakhir, tutur Martono.
 
Karena itu, lanjutnya, tak gampang menjadi eksekutif di Astra. Mereka harus siap mendapat eksposure besar, tukas Martono seraya memberi contoh Gidion Hasan, yang kini menjabat Direktur Keuangan UT, dan Julius Aslan yang semula direksi di Bank Permata, sekarang Direktur Astra Agro Lestari. Meski latar belakang mereka berbeda, kami coba putar mereka, imbuhnya.
 
Bukankah itu seperti gambling? Dengan tersenyum Martono memaparkan, Kepemimpinan itu sangat luas. Seseorang yang ditargetkan menjadi leader, dia harus menguasai semuanya. Ia memang sengaja ditarik keluar dari kotaknya dan diberi eksposure sebesar-besarnya. Selain itu,  tambahnya, calon pemimpin tidak hanya wawasannya yang luas, melainkan kompetensinya pun dilengkapi. Calon leader kami harus memiliki persyaratan tersebut. Itu harus dibuktikan melalui key behavior atau perilaku sehari-hari yang akhirnya menuju ke sana, paparnya. Acuan mengenai hal itu, dijabarkan Martono, terdapat pada panduan assessment karyawan. Tujuannya untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan karyawan. Sehingga, akan terlihat area mana yang perlu ditambahkan. Kami mengirim orang tidak asal kirim saja. Tapi disesuaikan dengan kebutuhan, di mana ia harus di-develop. Begitu juga dalam memberikan eksposure, tidak asal-asalan, ujar Martono meyakinkan.
 
Yang menarik, eksekutif yang sedang menjalani leadership journey tidak secara langsung tahu akan menjadi apa nantinya setelah dipindah-pindahkan. Tapi, mereka paham tujuannya, sambungnya. Proses feedback, coaching & concelling di lingkungan Astra menjadi sebuah keyakinan akan perjalanan seseorang menuju singgasana pemimpin. Biasanya, wakil dirut ataupun dirut akan dilibatkan untuk  mengajak ngobrol dan berdiskusi sebelum seseorang ditunjuk untuk mengisi jabatan tertentu.
 
Martono pun pernah merasakannya. Sebelum menjadi VP Chief SDM Korporat & Pengembangan Manajemen Astra, Teddy P. Rachmat yang ketika itu menjabat Dirut memanggilnya. Kala itu Teddy meyakinkan Martono bahwa ia cocok berada di posisi pengembangan SDM. Sebelumnya, ada pandangan bahwa karyawan yang berada di pengembangan SDM adalah orang-orang buangan. Persepsi ini muncul karena di masa lampau pekerjaan SDM melulu administratif. Terlebih, sebelumnya Martono menempati posisi bergengsi, yakni bagian pemasaran. Manakala diyakinkan Teddy bahwa ia cocok di bagian pengembangam SDM, ia hanya bisa menuruti. Empat tahun setelah pemanggilan itu, Martono bertemu lagi dengan Teddy. Sambil berseloroh, mantan bosnya itu berkata, Benar kan yang saya bilang. Kamu cocok di HRD.
 
Menurut Martono, proses pembelajaran menjadi pemimpin Astra dimulai sejak seseorang berada di jenjang manajer senior atau setingkat kepala divisi. Kami mulai memotret orang-orang di level manajer senior karena mereka sudah masuk Astra General Management Program (AGMP), ujarnya. Dalam program ini, Astra bekerja sama dengan Asean Institute of Management (AIM), Manila. Profesor dari AIM diterbangkan dari Manila untuk memberikan kelas di AGMP. Para eksekutif yang mendapat pelatihan di AGMP, sudah pasti dibebaskan dari pekerjaan. Tidak bisa pikirannya disambi dengan pekerjaan. Selama tiga minggu pelatihan, mereka diberi tugas-tugas yang sangat berat dan harus bisa diselesaikan, katanya. Bisa dikatakan, AGMP semacam kawah candradimukanya para calon pemimpin Astra.
 
Selepas AGMP,  mereka diikutkan dalam Astra Executive Program. Akan tetapi, sebelumnya, para lulusan AGMP digodok lebih dulu, di-assessment, lalu dipertajam sesuai dengan kriteria kompetensi yang dibutuhkan oleh seorang eksekutif. HRD akan melihat kekurangannya di mana, lalu diisi dan dikembangkan, ujar Martono. Mentor yang merupakan atasan dan yang bukan atasannya âۉ€Å“ untuk balancing âۉ€Å“ diharapkan bisa memperkaya calon pemimpin agar ilmunya komplet dari berbagai angle. Dalam perjalanan yang ditempuhnya, para eksekutif ini juga dituntut kontribusinya terhadap perusahaan. Ini terkait dengan reward yang akan mereka terima nantinya.
 
Dari setiap program yang dijalankan, manajemen akan melihat creme de la creme-nya. Mereka yang terbaik akan masuk dalam pool talenta Astra, ungkap Martono seraya mengakui, yang berhasil masuk pool memang tak banyak. Dari sekitar 300 eksekutif di lingkungan Astra, mungkin hanya 40-an yang masuk pool.
 
Dalam proses pencarian pemimpin di lingkungan Astra, Martono mengemukakan, prosesnya dimulai dari bawah âۉ€Å“ termasuk di anak-anak perusahaan Astra. Martono mengelolanya melalui Forum Komunikasi HRD yang terdiri dari para direktur HRD di anak-anak usaha Grup Astra. Mereka yang tersaring oleh HRD di masing-masing anak usaha, lalu ditarik untuk dimasukkan ke dalam penggodokan eksekutif. Selanjutya, sebagai calon pemimpin, mereka diberi tugas khusus. Misalnya, mereka diberi berbagai persoalan sebagaimana layaknya persoalan yang dihadapi seorang direksi. Kemudian, mereka diobservasi, baik dari sisi perilaku maupun ketahanan mentalnya dalam menghadapi situasi terdesak. Dari situ akan terlihat, apakah mereka sudah masuk dalam kriteria Astra âۉ€Å“ baik dari visi, emosi, maupun leadership-nya âۉ€Å“ ataukah tidak, ujar Martono.
 
Setelah dianalisis, akan keluar laporan yang berisi kekuatan dan area yang mesti dikembangkan. Area pengembangan ini benar-benar harus dipahami oleh karyawan yang bersangkutan. Di sinilah gunanya counseling dan mentoring. Atasannya pun harus benar-benar paham soal ini, agar ketika menyusun IDP benar-benar terarah. Sejauh ini kami melakukannya dengan sangat fokus dan tepat sasaran, papar Martono serius.
 
Menurutnya, sistem dan tool yang digunakan untuk mencetak pemimpin dengan cara tersebut mulai disempurnakan melalui Astra Development Centre. Di sini, sang calon pemimpin dihadapkan pada situasi kritis yang disebut critical interaction. Programnya menggunakan role player, yang terkadang berperan mengganggu posisinya sebagai CEO. Sekadar contoh, eksekutif yang sedang dilatih dihadapkan pada Ketua Serikat Pekerja yang memprotes berbagai persoalan. Di sana akan terlihat kematangan emosinya. Ada yang langsung marah, ada juga yang bersikap bijak. Padahal, semua itu hanya skenario, ujar Martono seraya terkekeh. Karena waktunya terbatas, originalitas orang yang bersangkutan bakal keluar dengan spontan. Pengamatnya terlatih dan sangat berpengalaman, imbuhnya. Selain dengan Serikat Pekerja, calon pemimpin juga dinilai dari caranya menghadapi hubungan dengan pemerintah. Dari situ juga akan terlihat integritasnya. Semuanya  dibuat natural, spontan, dan tentu saja tanpa disadari oleh si calon pemimpin yang bersangkutan, papar Martono.
 
Ketika menentukan kriteria pemimpin di Astra, menurut Martono, lebih dulu dia mendiskusikannya dengan beberapa pemimpin puncak atau direksi Astra. Dari jawaban mereka Martono mengetahui, ke depan Astra akan dibawa ke mana, juga visi dan misinya. Dengan demikian, dapat dipetakan pemimpin seperti apa yang dibutuhkan Astra agar tetap langgeng. Kendati semuanya sudah direncanakan dengan matang serta melalui berbagai pogram pelatihan, Martono tidak bisa mengatakan bahwa karyawan yang masuk dalam pool talenta ini sudah pasti semuanya akan berhasil menjadi pemimpin Astra. Tidak bisa dikatakan demikian. Banyak faktor yang menentukan, ia menandaskan.
 
Akan tetapi, para karyawan yang sudah terpilih pun tak perlu takut akan di bawa ke mana. Astra memiliki lebih dari 130 anak usaha, sehingga mudah bagi Martono merotasi orang-orang terbaiknya. Lahannya banyak untuk bisa digarap, ujarnya. Namun demikian, ia membantah bahwa jumlah anak usaha Astra yang mencapai 130 lebih itu sengaja dibuat untuk menampung orang-orang terbaik di Astra. Cara pandangnya tidak seperti itu, tukasnya. Dijelaskan Martono, tiap anak usaha dibuat berdasarkan kebutuhan pasar yang ada. Dalam hal ini, Astra sangat memperhatikan proses dalam mencetak pemimpinnya. Jadi, bukan semata-mata penilaian performa.
 
Yang tak kalah menarik, di beberapa level âۉ€Å“ terutama level eksekutif ke atas âۉ€Å“ kerap mendapat tugas ganda. Di Astra, sangat dimungkinkan seseorang mendapat tugas menjadi direksi di beberapa anak perusahaan. Saya pernah menjadi direksi di tiga anak usaha, tapi gajinya cuma satu, gajinya orang Astra, ujar Martono sambil tertawa. Lalu, apa benefit tambahannya? Bagi mereka, benefit tambahannya terletak pada kesempatan mendapat eksposure lebih sehingga pengembangannya bisa lebih kencang, tuturnya.
 
Martono memandang manusiawi bila ada kader yang mempertanyakan kepadanya setiap penugasan yang diberikan. Wajar jika ada yang merasa, kok saya sudah jadi direktur di perusahaan besar, tapi masih ditempatkan di anak usaha kecil, katanya mengumpamakan. Sepanjang pengalamannya, ia mengakui, pengembangan pemimpin di Astra diciptakan agar para calon pemimpin selalu lapar atau merasa ada appetite (penggugah selera) dalam setiap penugasannya.
 
Di samping itu, mereka juga mendapat proyek-proyek pendek di luar bidangnya, agar paham masalah lain. Di sisi lain, mereka harus pula bisa mencapai key performance indicator yang baik. Maka, bisa dibayangkan besarnya tekanan tugas dan proyek yang harus diselesaikan seorang eksekutif di Astra. Akan tetapi, tentu saja ada imbalan dari setiap prestasi yang dihasilkan. Menurut Martono, di akhir kelas masing-masing eksekutif peserta program calon pemimpin Astra akan mendapat reward yang sepadan. Setidak-tidaknya, mereka berhak melanjutkan ke kelas berikutnya yang mengantarkan mereka ke jenjang yang lebih tinggi.
 
Menurutnya, jika ingin menciptakan pemimpin masa depan, harus disesuaikan dengan perkembangan dan lingkungan bisnis yang ada. Karena itu, seseorang yang akan menjadi pemimpin Astra harus ditarik keluar dari kotaknya. Hal ini perlu dilakukan agar dia tidak merasa cepat puas dengan posisi yang sekarang dipegangnya. Bagaimanapun, dia akan selalu menghadapi situasi dan kondisi yang berbeda.
 
Selama menjalani berbagai program yang mengarahkannya ke posisi direksi, Gidion mengaku beruntung. Para senior memberi saya kesempatan untuk terlibat dalam proyek-proyek atau eksposure besar. Mulai dari restrukturisasi utang Astra kedua, rights issue, restrukturisasi Toyota, restrukturisasi Daihatsu, studi kelayakan dan sebagainya, papar Gidion. Dari situ ia merasa mempelajari banyak hal. Bukan saja aspek teknikal, melainkan juga proses pengambilan keputusan.
 
Tak hanya itu. Gidion membenarkan bahwa rotasi yang dilakukan HRD bukan sekadar pindah tempat. Orang-orang yang masuk dalam  pool talenta mendapat mentoring, pelatihan di lapangan dan sebagainya. Kala menangani restrukturisasi Toyota, misalnya, Gidion harus mengerti beberapa bidang sekaligus yang meliputi keuangan, merger perusahaan, dan legal agreement. Juga, ketika melakukan negosiasi dengan Toyota, ia mesti memahami masalah operasional, pemasaran, dan sebagainya. Saya mendapat pekerjaan yang lingkupnya jauh lebih besar dari finance. Untuk itu saya mendapat mentoring, kata pria yang sesekali meluangkan waktu ke kafe ini.
 
Dalam setiap persoalan yang dihadapi di proyek yang ditanganinya, Gidion mengaku mendapat pengalaman langsung dan bimbingan sebelum mengambil keputusan. Bagi saya kerja adalah self fulfillment, memberikan value added bagi perusahaan menjadi tujuan, ujar pria yang suka berinvestasi di saham untuk hari tuanya ini. Ia pun merasa beruntung mendapat kesempatan terlibat dalam proyek restrukturisasi Toyota, dan dalam waktu yang bersamaan menangani proyek-proyek lain. Bagi Gidion, Toyota adalah proyek besar yang cukup kompleks dalam sejarah kariernya. Sekarang, setelah mencapai posisi di atas, Gidion memiliki anak buah yang usianya lebih tua darinya. Tapi saya tidak memandang itu. Selama orang bisa create value added, tahu tanggung jawabnya, saya pikir tidak ada masalah soal jarak usia, katanya santai.
 
Krishnan Rajendran, Pengajar MBA bidang SDM di IPMI Business School, mengaku sangat terkesan dengan upaya Astra yang serius menciptakan pemimpin masa depan. Pria berdarah India ini melihat Astra telah mengadaptasi best practice dalam proses mencetak pemimpinnya. Pendekatan yang mereka gunakan dalam proses suksesi dan pengembangan leadership sangat sistematis, terprogram dan terorganisasi dengan baik,  profesional serta konsisten, kata pria yang sudah malang melintang di perusahaan konsultan di berbagai negara ini. 
 
Ia juga melihat adanya komitmen dan keseriusan dari top manajemen Astra. Menurutnya, hal itu bisa dijadikan contoh positif bagi organisasi lain yang ingin mengikuti jejak langkah Astra. Pengembangan kepemimpinan yang baik, jika didesain dan diimplementasi, merupakan proses yang terintegrasi dalam suatu kerangka strategi organisasi. Di dalamnya termasuk desain dari program dan proses seperti multiple phases, multiple form of learning, pemahaman berkelanjutan terhadap kebutuhan organisasi, dan sebagainya. Adapun caranya, dengan melibatkan direct manager sebagai pemimpin yang berpotensi dalam sebuah proses pengembangan. Saya pikir Astra sudah menerapkan hal ini dengan baik, kata Krishnan. 
 
Krishnan melihat keunikan dari program yang dikembangkan Astra, karena mereka bertumpu pada pendekatan bisnis strategis dan disesuaikan dengan filosofi bisnis. Pendekatan visi mereka sangat terkait dengan kebutuhan bisnis dan kompetensi orang-orangnya yang commandable, katanya. Mereka menjadi strategis dalam berpikir dan bisa dibilang menjadi garda depan dalam pengembangan orang dan pemimpin. Astra memang sangat berkomitmen dan konsisten dalam hal ini, imbuhnya.
 
Berdasarkan pengalamannya, tipe pencetakan pemimpin yang dijalankan Astra mirip dengan yang dilakukan beberapa perusahaan global seperti CISCO, General Electric, Allied Signal, Motorola, dan lain-lain. Beberapa dari perusahaan tersebut malah sudah mendirikan universitas korporat, baik  virtual maupun riil, mulai dari fasilitas hingga upayanya. Krishnan memberi contoh yang bagus mengenai penerapan Program Manajemen Performa dan Pengembangan CISCO. Ia menilai program itu terintegrasi, disertai proses suksesi dan program kepemimpinan.  Bahkan, menurutnya, CISCO sudah men-set up universitas virtual.
 
Krishnan lalu menyampaikan beberapa data dari hasil penelitian yang dilakukan Corporate Leadership Council. Studi itu menunjukkan beberapa indikasi penting dalam 17 metode pengembangan. Mereka mengeluarkan data tersebut setelah melakukan survei terhadap 15 ribu pemimpin dari berbagai organisasi dan industri di seluruh dunia.
 
Tantangan terbesar Astra adalah mengelola ekspektasi orang-orang pilihan yang masuk program tersebut, ujar Krishnan. Ekspektasi orang-orang bertalenta tinggi mungkin saja inflated, dan untuk berbagai alasan bisa saja turun, hingga kemudian mereka merasa kecewa. Di sisi lain, mereka yang tidak termasuk dalam kategori orang pilihan, tapi masih bagus kinerjanya, mungkin saja merasa tidak dihargai. Retensi talenta bisa menjadi isu juga, ia berujar.
 
Yang tak kalah penting, lanjut Krishnan, Astra harus bisa menangani tingkat kegagalan pada level terendah. Selain itu, me-maintain validitas program, kepercayaan-ketidakpercayaan, dan keefektifan biaya. Esensi dari kepemimpinan adalah pengambilan keputusan dan leading people, tandasnya. Karena itu, pengembangan kompetensi menjadi bagian dari tantangan organisasi di mana pun. Tak salah bila perusahaan diharapkan dapat mencetak pemimpin yang tak sekadar mampu mendorong terciptanya keputusan yang tepat. Namun, juga piawai menciptakan bisnis dengan membangun kekuatan relationship, serta menginspirasi orang lain untuk melakukan perubahan.
 
Terlepas dari tantangan yang diungkapkan Krishnan di atas, model yang dikembangkan Astra, sejauh ini terlihat ampuh untuk mencetak para pemimpin yang sanggup membawa Astra tetap kokoh sebagai perusahaan papan atas di Tanah Air.

Related :


Thanks and best regards,

 
Rahmatullah Soelaiman
HP : +628128759369
email : rahmatullah@satrindo.co.id;
rahmatullah.soelaiman@gmail.com


PT. Mitra Rental Utama


Jl. Sunter Agung Podomoro

Blok N2, No. 9-10, Sunter, Jakarta Utara 14350, Indonesia

Phone : 62 21 6519127 (Hunting)

Fax : +62 21 6511095

website : www.satrindo.com

READ MORE - Kawah Candradimuka ala Astra

Tuesday, February 19, 2013

Obat yang berbahaya

Badan POM telah memberikan peringatan kepada. Klinik Traditional Chinese Medicine (TCM) Harapan Baru. 
Tempat pengobatan itu telah menggunakan obat2an Kimia & tidak terdaftar. 
Obat2an tersebut sudah kami sita dan akan dimusnahkan (Kepala BPOM Lucky S, koran tempo senin, 4 Feb 2013).

Praktek pengobatan tradisional Cina (TCM) tumbuh subur di Indonesia. 
Sebagian dari mereka menebar janji palsu. Menyembuhkan kanker dengan obat2an herbal.

Klinik2 TCM:
1. Fu Jeng Tang (Jakarta)
2. Tong Fang (Jakarta, namanya sgt beken di dunia BBM)
3. Cang Jiang (Jakarta)
4. Tay Shan (Jakarta)
5. Citra Insani (Sukabumi)
6. Nan Fang (Surabaya)
7. Chong Sang (Jakarta & Surabaya)

Mereka menggunakan obat2an mulai dari Steroid hingga Kemoterapi.
Berikut ini beberapa obat kimia yang digunakan di TCM Harapan Baru.
1. Cinobufotalin: steroid dari ekstrak kulit katak beracun. Setara dengan 200 kali morphine.
2. Carboplatin & Cisplatin: obat kemo terapi. Bisa merusak ginjal, hati dan Jantung.
3. Ondansetron Hydrocloride: antimual dosis tinggi. Pendamping obat kemo.
4. Sodium Bicarbonate: antiasidosis, Menurunkan kadar asam tubuh.
5. Metoclopramide Hydrochloride: pendamping obat kemo mengurangi mual dan pusing.
6. Dexamethasone Sodium Phosphate & Sodium Aesinate: Anti radang
7. Lentinan: ekstrak jamur kuping, masih dalam penelitian
8. Artesunate: anti malaria. Sedang diteliti sebagai obat kanker.

RS Versus Klinik TCM
RS: 
biaya total operasi, kemoterapi hingga penyinaran: Rp.52 - 143jt. ?
Klinik TCM Harapan Baru:
Kasus pasien Harapan Baru Medan meninggal dunia setelah 2 bulan berobat. Total biaya sekitar 150jt.
(Koran Tempo, senin, 4 Feb 2013)
☞ http://m.tempo.co/read/
news/2013/02/04/060459027/Resep-Obat-Menyesatkan-di-Klinik-Tradisional-Cina

If you have any question, feel free to contact us.

 Thanks & Best Regards,

 Rahmatullah Soelaiman
HP : +628128759369
Super partnership solution


READ MORE - Obat yang berbahaya

Wednesday, February 13, 2013

4DX - Disiplin Eksekusi

Fokus pd tujuan utama, tentukan apa penggeraknya yg mempengaruhi, buat papan control yg bs dilihat semua team dan disiplin review berkala.


4DX
4 Disiplin Eksekusi

Franklin Covey meneliti permasalahan eksekusi ini dengan seksama, mungkin belum pernah ada yang melakukan hal ini sebelumnya. Telah ditelaah apa saja yang dapat menghalangi pelaksanaan eksekusi yang baik - Mulai tingkat manajemen puncak sampai tingkat staff - Berhasil dipisahkan setiap faktor yang mampu menghalangi kegagalan dalam pelaksanaan.

Peneliti disini yang dimaksud adalah dari Franklin Covey.
Kutipan ini disalin dari kata pengantar Bob Whiteman.

Mengapa banyak Inisiatif Perusahaan atau Organisasi gagal ataupun melenceng dari harapan mereka ? Jika dapat dikatakan, bukan karena perusahaan ataupun organisasi tersebut tidak memikirkan inisiatif ataupun keputusan yang mereka ambil. Seringkali, ini disebabkan karena Ketidakmampuan Mengeksekusi.

Adapun data populasi sampel yang diambil adalah :
Diteliti dan bekerja dengan lebih dari 400 organisasi dari berbagai tipe, berbagai ukuran, dimana peneliti membantu mereka menerapkan inisiatif eksekusi ini.
Peneliti menganalisa data sebanyak 200.000 hasil survey pada organisasi terlepas dari kemampuan mereka melakukan eksekusi.
Peneliti melakukan wawancara terhadap lebih dari 1000 tim kerja seputar masalah eksekusi.
Hasilnya ? Peneliti telah mengerti bagaimana organisasi mampu melakukan eksekusi dengan sangat baik. Mereka telah melihat sendiri :
Dimana sebuah perusahaan besar berbasis teknologi informasi menaikkan pendapatan mereka lebih dari 1 milyar dolar.
Sebuah bisnis yang bergerak dalam bidang retail berhasil bangkit dari rangking paling terpuruk menjadi nomer satu di industrinya.
Sebuah perusahaan media yang tadinya bangkrut, kini lahir kembali dan menjadi perusahaan media terkemuka dan disegani.
Pemerintah salah satu negara bagian Amerika secara dramatis berhasil menaikkan tingkat kepuasan pelanggan.

Namun yang terpenting adalah peneliti berhasil meyaksikan ratusan organisasi mencapai tujuan besar mereka. Para peneliti ini mendedikasikan dirinya untuk membantu berbagai organisasi dan setiap individu menghasilkan kejayaan. Bagi peneliti, tidak ada misi lebih penting dari pada kenyataan tersebut.

4DX




Salam,
READ MORE - 4DX - Disiplin Eksekusi

Sunday, February 3, 2013

Daftar Passing Grade 2013 : Universitas Gajah Mada (UGM)

JURUSAN IPA

1. Pendidikan Dokter – UGM (59,3%)

2. Teknik Elektro – UGM (57,4%)

3. Ilmu Komputer – UGM (56,5%)

4. Teknik Kimia – UGM (54,8%)

5. Arsitektur – UGM (51,4%)

6. Teknik Mesin – UGM (51,4%)

7. Pendidikan Dokter Gigi – UGM (50%)

8. Biologi – UGM (47,2%)


JURUSAN IPS

1. Akuntansi – UGM (62,1%)

2. Psikologi – UGM (58,7%)

3. Ilmu Hubungan Internasional – UGM (58,5%)

4. Manajemen – UGM (57,9%)

5. Ilmu Komunikasi – UGM (57,4%)

6. Sastra Inggris – UGM (56,6%)

7. Eko. dan Studi Pembangunan – UGM (55,6%)

8. Ilmu Hukum – UGM (54,1%)

9. Ilmu Administrasi Negara – UGM (50,5%)

10. Ilmu Pemerintahan – UGM (50,4%)

11. Sastra Jepang – UGM (50%)

12. Sastra Perancis – UGM (47,1%)

Daftar Passing Grade

READ MORE - Daftar Passing Grade 2013 : Universitas Gajah Mada (UGM)

Saturday, February 2, 2013

Daftar Passing Grade 2013 : Institut Teknologi Sepuluh November (ITS)


JURUSAN IPA
Teknik Informatika - ITS (59,5%)
Teknik Elektro - ITS (57,7%)
Teknik Industri - ITS (53,8%)
Teknik Lingkungan - ITS (52,4%)
Teknik Mesin - ITS (51,5%)
Sistem Informasi - ITS (47,4%)
Arsitektur - ITS (42.77%)
Biologi - ITS – (31.5%)
Desain Produk Industri - ITS (33.22%)
Fisika - ITS (35.69%)
Kimia - ITS (34.16%)
Matematika - ITS (36.11%)
Statistika - ITS (38.91%)
Teknik Fisika - ITS (40.19%)
Teknik Geodesi - ITS (38.16%)
Teknik Kelautan - ITS (42.47%)
Teknik Kimia - ITS (48.80%)
Teknik Material - ITS (35.16%)
Teknik Perkapalan - ITS (47.36%)
Teknik Sipil - ITS (45.33%)
Teknik Sistem Perkapalan - ITS (43.47%)
    READ MORE - Daftar Passing Grade 2013 : Institut Teknologi Sepuluh November (ITS)