4 Disciplines of Execution :
Sebagian dari kita punya kebiasaan jalan-jalan bersama keluarga ke toko buku pada akhir pekan. Salah satu kebiasaan kita saat berada di toko adalah melihat-lihat apakah ada buku-buku baru. Jika ada satu topik bertengger dalam benak, kita pun segera fokus pada judul-judul terkait.
Sekarang, marilah kita lakukan pengamatan singkat. Berapa banyak buku yang ada di rak bagian Manajemen, yang memajang buku-buku tentang strategi? Jawabannya, kemungkinan besar banyak tersedia. Kemudian, coba lihat berapa banyak buku yang membahas tentang bagaimana cara mengeksekusi strategi. Jumlahnya bisa jadi sangat kecil.
Situasi tersebut sama halnya dengan banyaknya orang yang masuk sekolah bisnis yang terkenal dan belajar bagaimana membuat dan menyusun strategi yang hebat. Namun, bagaimana cara mengeksekusi strategi tersebut, kurang banyak dibicarakan, atau tidak sebanyak pembahasan tentang strategi. Nah, guna menjawab tantangan di atas, tulisan berikut mencoba mengupas secara singkat bagaimana melakukan eksekusi terhadap strategi dan sasaran yang telah ditetapkan untuk menjadi perusahaan yang hebat (a great company).
Stephen R. Covey, dalam buku The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness, mengatakan, “It’s one thing to come up with great strategies and goals, but it’s quite another to actually get them done. This is called the execution gap.” (Merencanakan strategi dan sasaran yang hebat adalah satu hal penting, tetapi melaksanakan strategi dan sasaran tersebut adalah hal yang berbeda. Inilah yang disebut dengan “ execution gap”.).
Pada umumnya, banyak organisasi dalam dunia bisnis yang telah mengeluarkan biaya besar untuk membuat strategi yang hebat— kita sebut saja mereka memperoleh predikat A. Namun, untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, di samping strategi yang hebat, kita juga perlu eksekusi yang kuat. Ada pernyataan menarik yang diungkapkan oleh Chatherine Nelson. Katanya, An “A” execution of a “B” strategy is better than a “B” execution of an “A” strategy (Sebuah eksekusi yang hebat atas strategi yang tidak terlalu hebat lebih baik daripada eksekusi yang tidak terlalu hebat atas strategi yang hebat).
Sekarang sebuah pertanyaan muncul: mengapa suatu organisasi yang memiliki banyak orang yang berbakat dan strategi yang hebat, gagal mewujudkan perencanaan dan strateginya? Ram Charan, mantan guru besar Harvard Business School, dalam bukunya yang saat ini telah menjadi best seller, Execution: The Discipline of Getting Things Done, mengatakan, “It’s rarely for a lack of smart or vision. It’s bad execution. As simple as that: not getting things done, being indecisive, not delivering on commitments.”
Bagaimana peran seorang business leader saat ini? Barangkali jawabannya sangat sederhana: mendapatkan hasil (result) dalam bisnis.Dan, hasil tersebut berasal dari dua input, yaitu Strategi dan Eksekusi dari Strategi tersebut. Keduanya ibarat dua sisi dari mata uang yang sama. Jadi, suatu hasil yang tidak tercapai kemungkinan hanya disebabkan oleh satu dari dua hal berikut ini: strategi yang salah, atau eksekusi strategi tersebut yang tidak efektif.
Saat ini banyak leader yang mempunyai paradigma bahwa ketika mereka telah membuat strategi bisnis dari proses analisis yang mendalam, maka mereka bisa berbangga telah menjadi business leader. Begitu meeting yang panjang di sebuah hotel di luar kota rampung, dengan menghasilkan strategi perusahaan yang hebat dan memukau, maka sang business leader menarik napas lega. Dia bangga bahwa strategi yang berhasil disusun tampak hebat dan memukau semua orang di perusahaan.
Selanjutnya tentu saja menjadi tugas para anak buah untuk mewujudkan atau melaksanakan strategi tersebut. Jika saja ada pemimpin bisnis yang berpikir seperti itu, alangkah sayangnya. “Execution is a leader’s most important job. Execution is the major job of a leader and must be the core element of an organization’s culture,” ungkap Ram Charan.
Pernyataan Ram Charan itu menarik untuk kita telaah. Ada tiga hal penting yang diungkapkan oleh Ram Charan dalam bukunya, Execution: The Discipline of Getting Things Done. Pertama, eksekusi adalah disiplin dan bagian yang tidak terpisahkan dari strategi. Kedua, eksekusi adalah pekerjaan utama seorang pemimpin bisnis. Ketiga, eksekusi haruslah menjadi komponen utama dalam budaya organisasi.
Sekarang, pertanyaan yang muncul adalah: mengapa eksekusi bisa gagal? Untuk mengetahui jawabannya, marilah kita simak satu penelitian yang dapat mengantarkan kita pada jawaban tersebut. FranklinCovey, bekerja sama dengan Harris Interactive, lembaga jajak pendapat di Amerika Serikat, melakukan xQ (Execution Quotient) Survey terhadap 12.000 pekerja AS sepanjang Desember 2003. Hasil dari survei tersebut, ditemukan ada empat faktor penyebab kegagalan eksekusi, yakni:
- Orang tidak tahu apa yang menjadi sasaran (goal);
- Orang tidak tahu bagaimana cara mencapai sasaran (goal) tersebut;
- Orang tidak mengukur/menjaga skor;
- Orang tidak bertanggung jawab terhadap kemajuan dalam pencapaian sasaran (goal).
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh FranklinCovey, ada empat disiplin yang harus dilakukan dalam mengeksekusi, yang dikenal dengan istilah ”4 Disciplines of Execution”, atau disingkat dengan 4DX, yaitu:
- Fokus pada sasaran paling penting (Focus on the wildly important goals);
- Bertindak berdasarkan ukuran penghantar (Act on the lead measure);
- Terus menggunakan papan skor yang menggugah (Keep a compelling scoreboard);
- Menciptakan irama pertanggungjawaban (Create a cadence of accountability).
Kata kunci dalam implementasi 4DX adalah “disiplin”. Apa yang dimaksud dengan disiplin? Ini pertanyaan yang menarik untuk dijawab. Disiplin adalah keteraturan konsisten yang memandu kita untuk bertindak secara bebas dan bertanggung jawab (Discipline is a consistent regiment that leads to freedom of action). Dalam tulisan selanjutnya, akan kita lihat bagaimana praktek pelaksanaan empat disiplin tersebut satu per satu.
Untuk lebih memudahkan memahami 4 Disciplines of Execution (4DX), marilah kita mulai dengan contoh tentang seseorang yang telah menjalankannya. Barangkali sebagian dari kita pernah mendengar nama Lance Armstrong. Dia adalah pembalap sepeda yang berhasil memenangkan turnamen Tour de France tujuh kali berturut-turut. Ketika berumur 15 tahun, Armstrong adalah seorang atlet triatlon (renang, balap sepeda, dan lari). Kemudian, dia menyadari bahwa bakat dan potensi utamanya adalah pada cabang balap sepeda. Maka, dia fokus untuk lomba di arena balap sepeda. Lalu, dari sekian banyak lomba balap sepeda, Armstrong memfokuskan diri untuk berlomba di Tour de France. Jadi, yang menjadi sasaran utama ( wildly important goal) Armstrong adalah memenangkan Tour de France. Untuk mencapai WIG tersebut, apa yang dilakukan Armstrong?
Dia berlatih keras dengan menjalani setiap inci tur dan memperhatikan diet, pola makan, serta kebiasaan latihan dengan menjelajahi tiap tanjakan 1–2 bulan sebelum lomba. Armstrong memulai Tour de France dengan memperhatikan angka, mulai dari berat badan hingga kecepatan bersepeda. Balap sepeda adalah olahraga tim. Maka, untuk memenangkan Tour de France, Armstrong dan timnya mempunyai peran yang jelas. Akhirnya, dengan kerja tim yang solid, Armstrong dapat dengan mudah mengalahkan musuh-musuhnya hingga garis finis. Dan, Armstrong berhasil menjadi juara Tour de France tujuh kali berturut-turut. Nah, di bawah ini akan diuraikan tentang praktek pelaksanaan empat disiplin tersebut satu per satu
Salam,
Rahmatullah Soelaiman
Sumber : Warta Ekonomi
0 komentar:
Post a Comment